Pertanyaan
:
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Semoga
ustadz sekeluarga selalu dalam lindungan Allah SWT, amin.
Kemarin saya
menghadiri sebuah akad nikah di sebuah pesantren penghafal Al-Quran. Saya agak
kaget ketika dibacakan maharnya. Ternyata maharnya berupa hafalan ayat
Al-Quran, yaitu surat Ar-Rahman.
Maka di
majelis itu sang mempelai pria langsung membacakan surat Ar-Rahman itu dengan
dihafal sampai selesai. Dan hadirin pun khusyu' mendengarkan, termasuk mempelai
wanita.
Nah, yang
membuat saya penasaran, apakah bisa dibenarkan bacaan hafalan Al-Quran sebagai
mahar. Tetapi seorang kiyai yang duduk dekat saya bilang bahwa itu adalah
sunnah Nabi SAW. Sebab di masa beliau ada shahabat yang maharnya juga berupa
hafalan Al-Quran.
Saya masih
agak kurang paham dan ingin bertanya langsung kepada ustadz yang merupakan ahli
dalam masalah fiqih dan urusan memahami nash hadits.
Jadi mohon
ustadz berkenan menjelaskan duduk perkara masalah mahar pakai hafalan Al-Quran
ini. Dan kalau benar ada hadits tentang itu, mohon dijelaskan juga tentang
bagaimana kita memahaminya.
Terima kasih
buat ustadz dan jazakallah khairal jaza'.
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban :
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang
Anda ceritakan itu memang seringkali kita temukan, yaitu pemberian mahar kepada
calon istri berupa berupa hafalan Al-Quran. Memang mahar seperti ini tidak
sebagaimana lazimnya yaitu emas, uang, harta atau perabotan rumah tangga
lainnya.
Lalu sang
pengantin pria membacakan hafalan surat yang ada di kepalanya di depan sang
calon istri saat itu juga. Dan tentunya juga didengar oleh seluruh hadirin yang
ada.
Kiyai yang
memberikan penjelasan kepada Anda itu memang tidak salah. Sebab memang ada
hadits yang menyebutkan hal semacam itu.
Dan tidak
bisa dipungkiri bahwa teks hadits itu secara ekplisit memang menyebutkan bahwa
mahar itu berupa hafalan Al-Quran. Sehingga wajar kalau tidak sedikit orang
yang memahami bahwa mahar itu boleh berupa hafalan Al-Quran. Lengkapnya hadits
itu sebagai berikut :
Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Semoga ustadz sekeluarga selalu dalam lindungan Allah SWT,
amin.
Kemarin saya menghadiri sebuah akad nikah di sebuah
pesantren penghafal Al-Quran. Saya agak kaget ketika dibacakan maharnya.
Ternyata maharnya berupa hafalan ayat Al-Quran, yaitu surat Ar-Rahman.
Maka di majelis itu sang mempelai pria langsung membacakan
surat Ar-Rahman itu dengan dihafal sampai selesai. Dan hadirin pun khusyu'
mendengarkan, termasuk mempelai wanita.
Nah, yang membuat saya penasaran, apakah bisa dibenarkan
bacaan hafalan Al-Quran sebagai mahar. Tetapi seorang kiyai yang duduk dekat
saya bilang bahwa itu adalah sunnah Nabi SAW. Sebab di masa beliau ada shahabat
yang maharnya juga berupa hafalan Al-Quran.
Saya masih agak kurang paham dan ingin bertanya langsung
kepada ustadz yang merupakan ahli dalam masalah fiqih dan urusan memahami nash
hadits.
Jadi mohon ustadz berkenan menjelaskan duduk perkara masalah
mahar pakai hafalan Al-Quran ini. Dan kalau benar ada hadits tentang itu, mohon
dijelaskan juga tentang bagaimana kita memahaminya.
Terima kasih buat ustadz dan jazakallah khairal jaza'.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang Anda ceritakan itu memang seringkali kita temukan,
yaitu pemberian mahar kepada calon istri berupa berupa hafalan Al-Quran. Memang
mahar seperti ini tidak sebagaimana lazimnya yaitu emas, uang, harta atau
perabotan rumah tangga lainnya.
Lalu sang pengantin pria membacakan hafalan surat yang ada
di kepalanya di depan sang calon istri saat itu juga. Dan tentunya juga
didengar oleh seluruh hadirin yang ada.
Kiyai yang memberikan penjelasan kepada Anda itu memang
tidak salah. Sebab memang ada hadits yang menyebutkan hal semacam itu.
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa teks hadits itu secara
ekplisit memang menyebutkan bahwa mahar itu berupa hafalan Al-Quran. Sehingga
wajar kalau tidak sedikit orang yang memahami bahwa mahar itu boleh berupa
hafalan Al-Quran. Lengkapnya hadits itu sebagai berikut :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
أَنَّ النَّبِيَّ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: ياَرَسُولَ اللهِ إِنّيِ وَهَبْتُ
نَفْسِي لَكَ. فَقَامَتْ قِيَامًا
طَوِيْلاً. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ:
يَارَسُولَ اللهِ زَوِّجْنِيْهَا إِنْ
لَـمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا
حَاجَة. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا
اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ
اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ
اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ
فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا.
فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ
حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا.
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : هَلْ
مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟
قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا
وَسُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا.
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : قَدْ
زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ
اْلقُرْآنِ
Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita
yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu
berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya
Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya".
Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia
berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila
kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah
sesuatu". Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun".
Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya
lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah
kamu menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu"
sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan
kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhari Muslim).
Secara zahir kalau ada orang berpendapat bolehnya mahar
berupa hafalan Al-Quran, memang tidak bisa dipungkiri dan wajar.
Pendapat Yang Berbeda
Namun bukan rahasia lagi bahwa dalam menarik kesimpulan
hukum kita menemukan pendapat-pendapat yang berbeda, meski tetap mengacu kepada
dalil yang sama.
Sebagian ulama memandang bahwa hakikat mahar itu adalah
pemberian yang berupa harta, berapa pun nilainya. Sedangkan kalau hanya berupa
hafalan ayat Al-Quran, meski zahir nashnya demikian, namun tetap harus dipahami
dengan benar sebagaimana maksudnya.
a. Mahar Adalah Pemberian
Seorang calon suami boleh saja merasa dirinya sudah menjadi
hafidz (penghafal) Al-Quran. Tetapi hafalan yang ada di kepalanya bukanlah
sesuatu yang bisa diberikan kepada orang lain.
Bila mahar berupa hafalan Al-Quran, justru melanggar
pengertian mahar itu sendiri. Karena mahar itu pemberian dan hafalan Al-Quran
tidak bisa diberikan. Sebab otak kita tidak bisa dicopykan hafalan Al-Quran
seperti komputer.
b. Memahami Dalil Dengan Benar
Kalau harus berupa harta, lantas bagaimana dengan hadits di
atas yang tegas menyebutkan mahar dengan hafalan Al-Quran?
Jawabnya bahwa hadits di atas harus dibaca dengan utuh dan
tidak boleh dipakai sepotong-sepotong. Hadits di atas memang menceritakan
bagaimana Rasulullah SAW menyarankan atau membolehkan laki-laki itu memberi
mahar berupa hafalan Al-Quran. Tetapi kalau dilihat secara seksama, sebenarnya
ada proses sebelumnya. Tidak ujug-ujug beliau bilang begitu.
Awalnya Rasulullah SAW meminta agar mahar berupa harta,
tetapi karena laki-laki itu terlalu miskin, beliau SAW membolehkan harta dengan
nilai yang amat kecil, hanya berupa cincin dari besi. Namun sudah dicari dan
diupayakan, ternyata tetap tidak didapat juga, akhirnya apaboleh buat,
Rasulullah SAW pun mempersilahkan maharnya berupa hafalan ayat Al-Quran.
Kesimpulannya, kalaupun mau bayar mahar dengan hafalan
Al-Quran, maka posisinya harus diletakkan pada pilihan terakhir, setelah
mengupayakan memberi harta meski cuma sedikit pun tidak punya. Jangan
ujug-ujung langsung mahar berupa hafalan Al-Quran.
c. Memahami Hadits Dengan Mengaitkan Kepada Hadits Lain
Menarik kesimpulan hukum secara terburu-buru dengan
menggunakan sepotong dalil adalah sebuah keteledoran. Seorang faqih dan
mujtahid wajib menggunakan semua hadits dan tidak boleh hanya berdalil dengan
sepotong hadits.
Sebab bila kita hanya menggunakan hadits ini saja, tanpa
melihat dan membandingkan dengan sekian banyak hadits dan dalil-dalil syar'i
lainnya, kita jadi orang yang memakai dalil sepotong-sepotong. Dan memakai
dalil sepotong-sepotong itu bukan perbuatan terpuji. Bahkan para ahli kitab di
masa lalu dilaknat Allah karena salah satunya karena mereka menggunakan kitab
secara sepotong-sepotong. Dan Al-Quran sendiri mempertanyakan tindakan ini
sebagai tindakan yang keliru.
Maka selain hadit di atas, kita juga harus melihat hadits
lainnya tentang mahar dan nilainya di masa Rasulullah SAW. Rasululah SAW
sendiri tidak pernah bayar mahar pakai bacaan atau hafalan Al-Quran. Padahal
beliau adalah oran yang paling tinggi derajatnya dalam hafalan Al-Quran.
Tetapi mahar beliau kepada para istrinya tetap berupa harta.
Kepada Khadijah radhiyallahuanha diriwayatkan maharnya berupa 10 atau 100 ekor
unta. Kepada Aisyah dan lainnya berupa uang sebanyak 500 dirham perak.
كَانَ صِدَاقُهُ لأَزْوَاجِهِ ثِنْتَى عَشْرَةَ أوْقِيَةً
وَنَشًّا قَالَ: قَالَتْ: أتَدْرِى
مَا النَّشُّ ؟. قَالَ: قُلْتُ:
لاَ! قَالَتْ: نِصْفُ أوْقِيَةٍ ؛
فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ. فَهَذَا صِدَاقُ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لأَزْوَاجِهِ.
Aisyah berkata,"Mahar Rasulullah kepada para isteri
beliau adalah 12 Uqiyah dan satu nasy". Aisyah berkata,"Tahukah
engkau apakah nash itu?". Abdur Rahman berkata,"Tidak". Aisyah
berkata,"Setengah Uuqiyah". Jadi semuanya 500 dirham. Inilah mahar
Rasulullah saw kepada para isteri beliau. (HR. Muslim)
Di masa Rasulullah SAW, uang 1 dinar emas bisa untuk membeli
seekor kambing sebagaimana hadits Urwah Al-Bariqi. Dan perbandingan nilai
dirham dengan dinar berkisar antara 1 : 10 hingga 1 : 12. Maksudnya, satu dinar
di masa itu setara dengan 10 hingga 12 dihram.
Jadi kalau mahar Rasululah SAW itu 500 dirham, berarti
dengan uang itu kira-kira bisa untuk membeli kurang lebih 41 ekor kambing.
Tinggal kita hitung saja berapa harga kambing saat ini. Anggaplah misalnya sejuta
rupiah per-ekor, maka kurang lebih nilai 500 dirham itu 40-an juta rupiah.
d. Bukan Memamerkan Hafalan Tetapi Mengajarkan
Dan hadits di atas juga harus disesuaikan dengan hadits
lainnya yang menjelaskan. Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
اِنْطَلِقْ
لَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَعَلِّمْهَا مِنَ اْلقُرْآنِ
Dan dalam riwyat lain oleh Muslim : Nabi SAW bersabda,
“Pergilah, sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya, maka ajarilah dia
dengan Al-Qur’an”.
Maka yang dijadikan mahar bukan pameran hafalan Al-Quran di
majelis akad nikah, melainkan berupa 'jasa' untuk mengajarkan Al-Quran berikut
dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya.
Dan kita dapati dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa
jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
Kesimpulan
Kalau yang dimaksud bahwa mahar hafalan Al-Quran itu sekedar
memamerkan hafalan Al-Quran, nampaknya masih agak jauh dari makna dan maksud
mahar yang sesungguhnya.
Namun kalau yang dimaksud adalah dengan hafalannya itu
seorang suami mengajarkan Al-Quran, maka jasa mengajar itu adalah salah satu
wujud harta juga. Logika ini menurut hemat penulis agak lebih masuk akal dan
nalar kita.
Bukankah mahar Nabi Musa 'alaihissalam kepada istrinya juga
berupa jasa juga. Jasa yang dimaksud adalah jasa menggembala kambing selama 10
tahun lamanya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA